Dalam
catatan kecil, saya mengambarkan bahwa Aceh adalah daerah yang paling
miskin dengan musik. Padahal, Aceh memiliki keragaman budaya yang kuat
dan terbagi-bagi. Yang berpayung pada Aceh saja ada beberapa suku
seperti ureueng Aceh (suku yang berdiam disebagaian besar kabupaten), Ureueng Gayo (berdiam di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur), Ureueng Alaih (orang Alas yang berdiam di Aceh Tenggara),Ureueng Teumieng (Orang Tamiang yang tinggal di Aceh timur berbatasan dengan Sumatera Utara), Ureueng Singke (Singkil Hulu yang berdiam di Hulu sungai Singkel –Aceh Selatan), Ureueng Kluet (berdiam di daerah hulu kecamatan Kluet Kiabupaten Aceh Selatan), Ureueng Pulo (Orang Pulau yang berdiam dipulau Simeulue dan di Pulau Banyak) dan Aneuk Jamee yang berdian disebagian besar Aceh Selatan dan sebagian lagi di Aceh Barat.
Kekuatan seninya beragam. Suku Gayo misalnya, memiliki kesenian syaer
yang luar biasa. Didaerah ini banyak didiami oleh seniman tradisi yang
punya ciri khas, sehingga tidak heran apabila lagu-lagu yang lahir di
daerah ini lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sedangkan di Belahan
barat dan Selatan Aceh tersembunyi banyak seni Zikir, dan semua itu
berpayung kepada satu daerah bernama ‘Aceh”. Dari masing-masing
keseniannya berbeda-beda, baik pada bit maupun muatan syair, tergantung pada kondisi alam daerah tersebut.
Seni seperti Rapa-i, Tari Seudati, Zikir dan hikayat adalah
kesenian yang paling populer di pesisir Aceh, yang juga meliputi daerah
kepulauan seperti Sabang. Sementara daerah seperti kepulauan Siemeulue
lebih kepada Pantun dan Nandong, yaitu sebuah kesenian syair dan musik
berupa biola. Untuk daerah Alas, Aceh Tenggara juga sama lebih kepada
tari dan syair. Sedangkan Gayo, daerah pegunungan yang terkenal dengan
seni Vocal bernama Didong.
Pada tari seudati yang menonjol adalah syair dan bebuyian dari tubuh
seperti pukulan pada dada, ketrip jari, dan hentakan kaki. Sedangkan
Didong Gayo merupakan kesenian tradisi yang cuma menggunakan vocal dan
tepukan tangan dan bantal. Tetapi biasanya, baik Seudati, hikayat dan
Didong kekuatannya terletak pada syair.
Jadi bisa disimpulkan bahwa alat musik Aceh yang ideal adalah Vocal
(Voice), Percusi (Rebana, Gegedem, Rapa’i, Genderang Aceh), Alat Tiup
(Seruling dan Serune Kale), Bantal, dan Musik tubuh (Ketrip Jari dan
Pukulan Perut), sedangkan musik yang pernah berkembang di Aceh tahun
40-an seperti Gambus, Orkes, dan Qasidah merupakan pengaruh Islam yang
luas, dan Aceh gagal menjadikan musik-musik itu berciri khas khusus,
sehingga dia tergolong musik yang umum.
Sementara alat petik seperti gitar tidak ditemukan sebagai bagian alat
musik yang lazim untuk dimainkan, apalagi piano dan Keyboard yang punya
relevansi gereja. Sedangkan Biola, Hareubab, dan Gambus termasuk yang
paling sering dimainkan pada masa orde lama. Biola dikenal dengan biola
Aceh yang biasa digunakan untuk mengiringi pantun dan lawak yang
ditokohkan oleh Nyak Maneh di daerah Pidie, namun biola Aceh lainnya
dimainkan di Aceh Timur, namun di Aceh Timur lebih sebagai alat
pengiring musik dengan Cord yang berjalan menyerupai irama syair persis
dengan Nazam. Hareubab (Arbab Aceh) instrumen gesek Aceh ini ditemukan
di daerah Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Arbab Aceh dibuat dari
tempurung besar, dipasang tangkai kayu sepanjang hampir 50 cm, dan
dilengkapi dengan dawai logam. Biasa digunakan untuk mengiringi pantun
jenaka. Penyanyinya seorang pria berpakaian wanita yang disebut Fatimah
Abi. Sementara gambus merupakan alat musik yang berasal dari Arab. Alat
ini sudah umum digunakan di Indonesia dan lebih dikenal sebagai alat
musik padang pasir.
Dalam musik-musik rakyat yang biasa menjadi mainan masayarakat Aceh
seperti alat tiup yang terbuat dari batang padi kering atau jerami (wa),
peluit yang terbuat dari pelepah daun pinang yang menyerupai suara
burung (peuleupeuek), alat tiup yang terbuat tanah merah (pib-pib)),
alat musik yang terbuat dari selembar besi kecil dan tipis (genggong),
alat tiup (buloh) menyerupai suling dengan nada tinggi (bansi), dan
seruling yang lebih halus dari bansi. Semua alat musik itu kini nyaris
hilang dan tidak populer lagi, sehingga juga tidak dimainkan untuk
menjadi bagian dari alat musik Aceh. Akibatnya jenis-jenis itu juga
ikut hilang ditelan zaman.
Lagu Aceh yang dimusikan baru dikenal pada masa orde baru, dimana
diawali dengan lahirnya lagu-lagu pop seperti Bungong Jeumpa, Bungong
Seulanga, dan Dibabah Pinto. Sebelumnya, lagu-lagu Aceh namun dalam
format seudati yang disebut lagu.
Sedangkan untuk mengiring tari tetap dalam format tradisi seperti Ranup
Lampuan yang cuma diiringi musik percusi Rapai, Genderang, dan Seurune
Kale. Begitu juga dengan pencipta lagu baru terlahir pada tahun 70-an,
dimana Ibnu Arhas termasuk tokoh yang mencipta lagu, kendati dengan
syair yang lari dari kebiasaan menulis syair Aceh.
Industri Musik
Belakangan ini sudah banyak kita temui kaset-kaset Aceh yang direkam
dengan berbagai jenis musik, namun sangat sedikit yang menyentuh khas
Aceh. Tentu saja inilah yang disebut musik industri. Kalau musik sudah
menyentuh industri, banyak hal bisa terjadi disana, seperti pertimbangan
untuk memasukan lebih banyak unsur tradisi karena memerlukan biaya
relatif mahal, sehingga garis yang ditempuh adalah efektifitas, yaitu
murah dan laku.
Akibatnya, stamina pencarian untuk musik Aceh menjadi kecil lantaran
arah yang dipilih ekonomis, seperti pemanfaatan keyboard yang dapat
dengan mudah melahirkan aneka musik walau tidak menghasilkan musik
maksimal. Keyboard merupakan alat musik yang dimainkan oleh satu orang
saja. Sound-sound yang dilahirkan dari Keyboard terdengar kaku dan tidak
sedikitpun menyentuh alat aslinya.
Industri rekaman sejenis ini diawali dengan lahirnya album Jen jen Jok
pada era 80-an, dimana Penyanyi A Bakar menjadi penyanyi pertama yang
berhasil mempopulerkan industri dalam musik Aceh. Setelah album itu
beredar dan diterima di pasar Aceh, selanjutnya lahirlah musik-musik
sejenis yang di industrikan.
Gara-gara musik Keyboard itu pula lantas di Aceh menjadi unik. Irama
musik yang sempat bertahan hingga sekarang adalah remix yang di padu
dengan bermacam-macam irama lainnya seperti Remix Dangdut, Disco Dut,
Cha-cha Dut dan lain-lain. Hasilnya, musik Aceh tidak bergerak dan cuma
berkutat di seputar yang itu-itu saja, gampang menyerap dan meniru.
Semasa Jen Jen Jok, masih ada toleransi lebih dalam muatannya seperti
syair-syair Aceh yang terarah. Belum berbentuk syair-syair umum layaknya
lagu-lagu Indonesia. Perdebatan soal syair Aceh muncul tatkala
Nyawoung, sebuah kaset Aceh kotemporer, berhasil memuat syair-syair Aceh
lama yang sesuai dengan rumusan penulisan lirik Aceh. Sejak saat itu,
syair menjadi penting dalam lagu-lagu Aceh. Kaset yang terkenal di Aceh
Hasan Husen merupakan bukti kalau syair menjadi penting. Lagu-lagu yang
dinyanyikan Rafly itu, justru bukan lantaran musiknya, melainkan lirik
yang digunakan jauh lebih akrab, dengan rumusan penulisan yang sesuai.
Masalah lirik ini memang menjadi kajian tersendiri setiap kali
membicarakan musik Aceh, lantaran syair punya sejarah sendiri dalam
perkembangan seni di Aceh, seperti halnya kekuatannya dalam menyalurkan
pesan-pesan kepada masyarakat luas. Orang Aceh sejak dulu memang lebih
dalam hal menghayati lirik, terbukti dengan berkembangnya seni sya’er
yang begitu besar.
Pengkajian lirik bisa dimulai dari perpuisian Aceh yang berkembang pada
abad ke-19, dimana lirik itu penting dalam perang panjang melawan
kompeni. Dalam perang Aceh itu, hidup seorang penyair dan penyanyi Aceh
yang terkenal bernama Dolkarim. Dia membawakan puisi-puisi lagu ditengah
pejuang untuk membakar semangat rakyat melawan kolonialisme.
Dengan memberikan contoh lirik yang ada hubungannya dengan semangat
perjuangan, memang tak selamanya mulus dalam arti artistik, karena
terbuka peluang untuk melihat lirik-lirik seperti itu dengan lebih
nalar, dan darinya diperoleh semacam pegangan, bahwa puisi-puisi yang
dinyanyikan untuk tujuan politis, atau berkaitan dengan pandangan
politis seringkali tidak bebas sebagai seni, dan lebih banyak tertawan
dalam ungkapan-ungkapan bahasa klise. Walau begitu peranan Dokarim dalam
menyanyikan puisi-puisi perjuangan itu, sekurangnya memberikan jaminan
akan berlakunya nilai kawirasa yang baik. Hal itu harus dilihat sebagai
dorongan estetis sastra, karena adanya tradisi sastra yang bersinambung
dengannya. Tradisi itu dalam sastra Aceh berlangsung sebagai ekstansi
dari tradisi lirik-lirik Arab Zaman Islam.
Tradisi lirik itu kemudian dilanjutkan oleh penyair terpandang pada era
80-an abad ke-19, yaitu Teungku Cik Pante Kulu. Apa sebab dia berhasil
mengembangkan tradisi lirik dikalangan masyarakat Aceh, sebab tema yang
digarapnya berhubungan erat dengan agama Islam, yaitu hidup sesuai
dengan jalan yang diridhoi Allah –atau dalam kata-kata yang lazim
disebut ‘fi sabilillah’.
Dari kajian tradisi Lirik diatas, barangkali itulah yang bisa dijadiakan
acuan apabila masyarakat Aceh hanya loyal pada lirik-lirik yang
menyentuh kehidupan sosial masyarakat dan agama. Hasan Husen menjadi
perlu dilihat sebagai contoh tradisi lirik yang hidup di zaman sekarang,
terbukti direspon oleh banyak kalangan, baik oleh agamawan maupun
cendikiawan. Dalam tradisi liriknya, album Hasan Husen bukan cuma
berkisah masalah agama, tetapi lebih jauh bercerita pada kehidupan
sosial masyarakat yang berlangsung di Aceh.
Gambaran itupula kemudian yang menjadikan kita semakin yakin, bahwa
pendekatan kemasyarakat adalah mutlak dalam melahirkan tradisi seni
sebuah wilayah, tidak terkecuali Aceh. Jadi, kalau dicermati dengan
teliti, tidak ada kebanggaan kita yang berlebihan pada musik Aceh yang
ada—bahkan hingga perkembangannya sampai sekarang ini. Kalupun serius
mau berkutat pada penggalian musik Aceh, yang mutlak dan harus dilakukan
adalah pendekatan lagu dan irama Aceh, seperti vocal Aceh yang khas.
Disamping tradisi lirik menjadi penting agar vocal menjadi kuat dan
berirama. Kalau itu sudah dijangkau, maka berbicara musik Aceh bukan
lagi biasa, tetapi sudah menjadi acuan penting dalam perkembangan
tradisi musik dunia, mengekor pada India, Arab, dan Cina yang merupakan
negara paling banyak memberi konstribusi kepada musik dunia, dan Aceh
perlu mencobanya.!!!!
Sumber : http://duniamusicaceh.blogspot.co.id/2014/11/perjalanan-musik-aceh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar