Poin Penting

Jumat, 04 Maret 2016

Perjalanan Musik Aceh

Untuk membicarakan musik Aceh lebih spesifik, memang cukup rumit lantaran untuk memulainya sangat sulit menentukan periode masa yang diingini. Musik di Aceh belum memiliki rumusan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perkembangan musik dunia, gara-gara Aceh tidak pernah mengkaji musiknya hingga tuntas. Yang ada adalah argumentasi yang terkadang tidak tepat untuk musik Aceh itu sendiri.
Dalam catatan kecil, saya mengambarkan bahwa Aceh adalah daerah yang paling miskin dengan musik. Padahal, Aceh memiliki keragaman budaya yang kuat dan terbagi-bagi. Yang berpayung pada Aceh saja ada beberapa suku seperti ureueng Aceh (suku yang berdiam disebagaian besar kabupaten), Ureueng Gayo (berdiam di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur), Ureueng Alaih (orang Alas yang berdiam di Aceh Tenggara),Ureueng Teumieng (Orang Tamiang yang tinggal di Aceh timur berbatasan dengan Sumatera Utara), Ureueng Singke (Singkil Hulu yang berdiam di Hulu sungai Singkel –Aceh Selatan), Ureueng Kluet (berdiam di daerah hulu kecamatan Kluet Kiabupaten Aceh Selatan), Ureueng Pulo (Orang Pulau yang berdiam dipulau Simeulue dan di Pulau Banyak) dan Aneuk Jamee yang berdian disebagian besar Aceh Selatan dan sebagian lagi di Aceh Barat.
Kekuatan seninya beragam. Suku Gayo misalnya, memiliki kesenian syaer yang luar biasa. Didaerah ini banyak didiami oleh seniman tradisi yang punya ciri khas, sehingga tidak heran apabila lagu-lagu yang lahir di daerah ini lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sedangkan di Belahan barat dan Selatan Aceh tersembunyi banyak seni Zikir, dan semua itu berpayung kepada satu daerah bernama ‘Aceh”. Dari masing-masing keseniannya berbeda-beda, baik pada bit maupun  muatan syair, tergantung pada kondisi alam daerah tersebut.
Seni seperti  Rapa-i, Tari SeudatiZikir dan hikayat adalah kesenian yang paling populer di pesisir Aceh, yang juga meliputi daerah kepulauan seperti Sabang. Sementara daerah seperti kepulauan Siemeulue lebih kepada Pantun dan Nandong, yaitu sebuah kesenian syair dan musik berupa biola. Untuk daerah Alas, Aceh Tenggara juga sama lebih kepada tari dan syair. Sedangkan Gayo, daerah pegunungan  yang terkenal dengan seni Vocal bernama Didong.
Pada tari seudati yang menonjol adalah syair dan bebuyian dari tubuh seperti pukulan pada dada, ketrip jari, dan hentakan kaki. Sedangkan Didong Gayo merupakan kesenian tradisi yang cuma menggunakan vocal dan tepukan tangan dan bantal. Tetapi biasanya, baik Seudati, hikayat dan Didong kekuatannya terletak pada syair.
Jadi bisa disimpulkan bahwa alat musik Aceh yang ideal adalah Vocal (Voice), Percusi (Rebana, Gegedem, Rapa’i, Genderang Aceh),  Alat Tiup (Seruling dan Serune Kale), Bantal, dan Musik tubuh (Ketrip Jari dan  Pukulan Perut), sedangkan  musik yang pernah berkembang di Aceh tahun 40-an seperti Gambus, Orkes, dan Qasidah merupakan pengaruh Islam yang luas, dan Aceh gagal menjadikan musik-musik itu berciri khas khusus, sehingga dia tergolong musik yang umum.
Sementara alat petik seperti gitar tidak ditemukan sebagai bagian alat musik yang lazim untuk dimainkan, apalagi piano dan Keyboard yang punya relevansi gereja. Sedangkan Biola, Hareubab, dan Gambus termasuk yang paling sering dimainkan pada masa orde lama. Biola dikenal dengan biola Aceh yang biasa digunakan untuk mengiringi pantun dan lawak yang ditokohkan oleh Nyak Maneh di daerah Pidie, namun biola Aceh lainnya dimainkan di Aceh Timur, namun di Aceh Timur lebih sebagai alat pengiring musik dengan Cord yang berjalan menyerupai irama syair persis dengan Nazam. Hareubab (Arbab Aceh) instrumen gesek Aceh ini ditemukan  di daerah Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Arbab Aceh dibuat dari tempurung besar, dipasang tangkai kayu sepanjang hampir 50 cm, dan dilengkapi dengan dawai logam. Biasa digunakan untuk mengiringi pantun jenaka. Penyanyinya seorang pria berpakaian wanita yang disebut Fatimah Abi. Sementara gambus merupakan alat musik yang berasal dari Arab. Alat ini sudah umum digunakan di Indonesia dan lebih dikenal sebagai alat musik padang pasir.
Dalam musik-musik rakyat yang biasa menjadi mainan masayarakat Aceh seperti alat tiup yang terbuat dari batang padi kering atau jerami (wa), peluit yang terbuat dari pelepah daun pinang yang menyerupai suara burung (peuleupeuek), alat tiup yang terbuat tanah  merah (pib-pib)), alat musik yang terbuat dari selembar besi kecil dan tipis (genggong), alat tiup (buloh) menyerupai suling dengan nada tinggi (bansi), dan seruling yang lebih halus dari bansi. Semua alat musik itu kini nyaris hilang dan tidak populer lagi, sehingga juga tidak dimainkan untuk menjadi bagian dari alat musik Aceh. Akibatnya  jenis-jenis itu juga ikut hilang ditelan zaman.
Lagu Aceh yang dimusikan baru dikenal pada masa orde baru, dimana diawali dengan lahirnya lagu-lagu pop seperti Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dan Dibabah Pinto. Sebelumnya, lagu-lagu Aceh namun dalam format seudati yang disebut lagu. Sedangkan untuk mengiring tari tetap dalam format tradisi seperti Ranup Lampuan yang cuma diiringi musik percusi Rapai, Genderang, dan Seurune Kale. Begitu juga dengan pencipta lagu baru terlahir pada tahun 70-an, dimana Ibnu Arhas termasuk tokoh yang mencipta lagu, kendati dengan syair yang lari dari kebiasaan menulis syair Aceh.
Industri Musik
Belakangan ini sudah banyak kita temui kaset-kaset Aceh yang direkam dengan berbagai jenis musik, namun sangat sedikit yang menyentuh khas Aceh. Tentu saja inilah yang disebut musik industri. Kalau musik sudah menyentuh industri, banyak hal bisa terjadi disana, seperti pertimbangan untuk memasukan lebih banyak unsur tradisi karena memerlukan biaya relatif mahal, sehingga garis yang ditempuh adalah efektifitas, yaitu murah dan laku.
Akibatnya, stamina pencarian untuk musik Aceh menjadi kecil lantaran arah yang dipilih ekonomis, seperti pemanfaatan keyboard yang dapat dengan mudah melahirkan aneka musik walau tidak menghasilkan musik maksimal. Keyboard merupakan alat musik yang dimainkan oleh satu orang saja. Sound-sound yang dilahirkan dari Keyboard terdengar kaku dan tidak sedikitpun menyentuh alat aslinya.
Industri rekaman sejenis ini diawali dengan lahirnya album Jen jen Jok pada era 80-an, dimana Penyanyi A Bakar menjadi penyanyi pertama yang berhasil mempopulerkan industri dalam musik Aceh. Setelah album itu beredar dan diterima di pasar Aceh, selanjutnya lahirlah musik-musik sejenis yang di industrikan.
Gara-gara musik Keyboard itu pula lantas di Aceh menjadi unik. Irama musik yang sempat bertahan hingga sekarang adalah remix yang di padu dengan bermacam-macam irama lainnya seperti Remix Dangdut, Disco Dut,  Cha-cha Dut dan lain-lain. Hasilnya, musik Aceh tidak bergerak dan cuma berkutat di seputar yang itu-itu saja, gampang menyerap dan meniru.
Semasa Jen Jen Jok, masih ada toleransi lebih dalam muatannya seperti syair-syair Aceh yang terarah. Belum berbentuk syair-syair umum layaknya lagu-lagu Indonesia. Perdebatan soal syair Aceh muncul tatkala Nyawoung, sebuah kaset Aceh kotemporer, berhasil memuat syair-syair Aceh lama yang sesuai dengan rumusan penulisan lirik Aceh. Sejak saat itu, syair menjadi penting dalam lagu-lagu Aceh. Kaset yang terkenal di Aceh Hasan Husen merupakan bukti kalau syair menjadi penting. Lagu-lagu yang dinyanyikan Rafly itu, justru bukan lantaran musiknya, melainkan lirik yang digunakan jauh lebih akrab, dengan rumusan penulisan yang sesuai.
Masalah lirik ini memang menjadi kajian tersendiri setiap kali membicarakan musik Aceh, lantaran syair punya sejarah sendiri dalam perkembangan seni di Aceh, seperti halnya kekuatannya dalam menyalurkan pesan-pesan kepada masyarakat luas. Orang Aceh sejak dulu memang lebih dalam hal menghayati lirik, terbukti dengan berkembangnya seni sya’er yang begitu besar.
Pengkajian lirik bisa dimulai dari perpuisian Aceh yang berkembang pada abad ke-19, dimana lirik itu penting dalam perang panjang melawan kompeni. Dalam perang Aceh itu, hidup seorang penyair dan penyanyi Aceh yang terkenal bernama Dolkarim. Dia membawakan puisi-puisi lagu ditengah pejuang untuk membakar semangat rakyat melawan kolonialisme.
Dengan memberikan contoh lirik yang ada hubungannya dengan semangat perjuangan, memang tak selamanya mulus dalam arti artistik, karena terbuka peluang untuk melihat lirik-lirik seperti itu dengan lebih nalar, dan darinya diperoleh semacam pegangan, bahwa puisi-puisi yang dinyanyikan untuk tujuan politis, atau berkaitan dengan pandangan politis seringkali tidak bebas sebagai seni, dan lebih banyak tertawan dalam ungkapan-ungkapan bahasa klise. Walau begitu peranan Dokarim dalam menyanyikan puisi-puisi perjuangan itu, sekurangnya memberikan jaminan akan berlakunya nilai kawirasa yang baik. Hal itu harus dilihat sebagai dorongan estetis sastra, karena adanya tradisi sastra yang bersinambung dengannya. Tradisi itu dalam sastra Aceh berlangsung sebagai ekstansi dari tradisi lirik-lirik Arab Zaman Islam.
Tradisi lirik itu kemudian dilanjutkan oleh penyair terpandang pada era 80-an abad ke-19, yaitu Teungku Cik Pante Kulu. Apa sebab dia berhasil mengembangkan tradisi lirik dikalangan masyarakat Aceh, sebab tema yang digarapnya berhubungan erat dengan agama Islam, yaitu hidup sesuai dengan jalan yang diridhoi Allah –atau dalam kata-kata yang lazim disebut ‘fi sabilillah’.
Dari kajian tradisi Lirik diatas, barangkali itulah yang bisa dijadiakan acuan apabila masyarakat Aceh hanya loyal pada lirik-lirik yang menyentuh kehidupan sosial masyarakat dan agama. Hasan Husen menjadi perlu dilihat sebagai contoh tradisi lirik yang hidup di zaman sekarang, terbukti direspon oleh banyak kalangan, baik oleh agamawan maupun cendikiawan. Dalam tradisi liriknya, album Hasan Husen bukan cuma berkisah masalah agama, tetapi lebih jauh bercerita pada kehidupan sosial masyarakat yang berlangsung di Aceh.
Gambaran itupula kemudian yang menjadikan kita semakin yakin, bahwa pendekatan kemasyarakat adalah mutlak dalam melahirkan tradisi seni sebuah wilayah, tidak terkecuali Aceh. Jadi, kalau dicermati dengan teliti, tidak ada kebanggaan kita yang berlebihan pada musik Aceh yang ada—bahkan hingga perkembangannya sampai sekarang ini. Kalupun serius mau berkutat pada penggalian musik Aceh, yang mutlak dan harus dilakukan adalah pendekatan lagu dan irama Aceh, seperti vocal Aceh yang khas. Disamping tradisi lirik menjadi penting agar vocal menjadi kuat dan berirama. Kalau itu sudah dijangkau, maka berbicara musik Aceh bukan lagi biasa, tetapi sudah menjadi acuan penting dalam perkembangan tradisi musik dunia, mengekor pada India, Arab, dan Cina yang merupakan negara paling banyak memberi konstribusi kepada musik dunia, dan Aceh perlu mencobanya.!!!!
Jauhari Samalanga, Pemerhati sosial budaya dan  Pekerja Musik Aceh, inisiator Lembaga Budaya Saman

Sumber : http://duniamusicaceh.blogspot.co.id/2014/11/perjalanan-musik-aceh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar